Rabu, 28 Maret 2012

Kajian Sosiologi Pendidikan


KLIK DAN STRUKTUR SOSIAL DALAM SISTEM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Manusia pada dasarnya lahir ke dunia ini seorang diri tanpa membawa apa apa. Namun dalam perjalanan hidupnya manusia selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Analisa mengenai manusia sebagai makhluk sosial telah banyak dilakukan. Aristoteles misalnya mengatakan: Man is Zoon Politicon; Man is Social Animal. Manusia adalah makhluk sosial, atau manusia adalah manusia karena ketergantungannya dan keanggotaannya dalam suatu lingkaran (polis) tertentu.[1] Ini adalah bukti bahwa manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup bermasyarakat.
Dalam usahanya untuk bermasyarakat, manusia membentuk kelompok-kelompok. Di dalam kelompok-kelompok itu mereka bisa mengembangkan kepribadian, pola fikir dan tingkah laku yang berguna bagi dirinya sendiri. Dalam setiap kelompok ada berbagai macam karakteristik manusia yang beragam. Hal ini menyebabkan adanya kedudukan dan peranan yang berbeda dari setiap individu, sehingga setiap individu bisa mengetahui hak dan kewajibannya dalam kapasitasnya sebagai anggota kelompok.
Untuk lebih memperjelas kedudukan dan peranan setiap anggota kelompok, maka perlu diadakan strukturisasi sosial. Demikian juga dengan sekolah yang merupakan miniatur masyarakat. Adanya struktur sosial yang jelas memungkinkan sekolah menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan dengan baik.

B. Pembahasan
1. Pengertian Klik, Struktur, Kelompok (sosial) dan Pendidikan
Klik berasal dari bahasa Inggris “clique” yang artinya kelompok; golongan kecil.[2] Yang dimaksud dengan struktur, dalam kamus ilmiah populer, adalah susunan; bangunan.[3] Apabila seorang insinyur bicara tentang "struktur" bangunan, maka yang dimaksud adalah: 1) Materinya, 2) Hubungan antara bagian-bagian bangunan, dan 3) Bangunan itu dalam keseluruhannya sebagai gedung sekolah, kantor dan sebagainya.  Demikian juga dengan struktiur sosial dimaksud: 1) Materialnya (jumlah orang, pria, wanita, dewasa, anak, guru, murid dan sebagainya), 2) Hubungan antara bagiannya (apa yang diharapkan guru dari murid dan sekolahnya, dan sebagainya), 3) Hakikat masyarakat itu sebagai keseluruhan. Sedangkan dalam lingkup sekolah, materialnya adalah kepala sekolah, guru, pegawai, pesuruh, murid-murid pria maupun wanita yang masing-masing mempunyai kedudukan dan peranan.
Sedangkan definisi kelompok menurut Sherif, dalam Abu Ahmadi, kelompok adalah:
“ a Group is social Unit Consist of a number of individuals who stand in definite status and role relationships to one another and which posseses a set of Values or norms of its own regulating the behavior of individual members, at least in matters of consequence to the group”.
Menurut pengertian tersebut di atas maka kelompok sosial itu adalah unit sosial yang terdiri dari beberapa individu sebagai anggota kelompok dimana individu-individu tadi mempunyai status atau peran tertentu dan dalam unit sosial tadi berlakulah serangkaian norma-norma yang mengatur tingkah laku kelompok.[4]
Soerjono Soekanto menulis bahwa di dalam diri manusia terdapat keinginan untuk menjadi satu (baca: interaksi) dengan manusia lainnya dan juga alam sekitarnya.[5] Dengan adanya hubungan atau interaksi tersebut, maka akan tercipta suatu pergaulan hidup dan manusia hidup dalam satu pergaulan. Apabila kita menelaah peryataan ini, maka kita dapat menyatakan bahwa kelompok, tegasnya kelompok sosial merupakan suatu bentuk perwujudan dari pergaulan hidup atau pergaulan bersama itu. Dengan kata lain pergaulan hidup itu mendapat perwujudannya di dalam kelompok sosial.
Sedangkan hakikat pendidikan menurut Raka Joni, dalam Zahara Idris, adalah:
  1. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subyek didik menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang semakin pesat.
  2. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi yang semakin pesat.
  3. Pendidikan berlangsung seumur hidup.[6]
Menurut Ki Hajar Dewantara, yang dimaksud dengan hakikat pendidikan adalah proses penanggulangan masalah-masalah serta penemuan dan peningkatan kualitas hidup pribadi serta masyarakat yang berlangsung seumur hidup. Pada tingkat permulaan, pendidik lebih menentukan dan mencampuri pendidikan peserta didik. Namun lambat laun pendidik lebih bersifat pengasuh yang mendorong, membimbing, memberi teladan, menuntun serta menyediakan dan mengatur kondisi untuk membelajarkan peserta didik sehingga dapat  menghasilkan peserta didik yang mampu memperbaharui diri terus menerus dan aktif dalam menghadapi lingkungan hidupnya. Dengan kata lain, peserta didik mampu meningkatkan kualitas hidup pribadi dan masyarakat sepanjang hayat.
Hal itu terlihat dalam semboyan dan perlambang yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Ing Ngarsa Sung Tulodho artinya kalau pendidik berada di muka, dia memberi teladan pada peserta didiknya; Ing Madya Mangun Karsa artinya kalau pendidik berada di tengah, dia membangun semangat berswakarya dan berkreasi pada peserta didiknya; dan Tut Wuri Handayani artinya kalau pendidik berada di belakang, dia mengikuti dan mengarahkan peserta didiknya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab serta mencari jalan keluar sendiri.[7]

2. Klasifikasi Sosial
Dilihat dari sudut pandang sosiologi, perlu dikemukakan kriteria yang membedakan antara kumpulan dengan kelompok sosial. Hal ini disebabkan karena belum adanya keseragaman mengenai pengertian atau batasan makna tentang kelompok sosial. Dengan demikian, kehadiran suatu kriteria untuk membedakan kumpulan dengan kelompok sosial sangat diperlukan dalam pembahasan makalah kami. Soerjono Soekanto telah mengajukan suatu kriteria yang dapat kita gunakan. Ia mengemukakan bahwa suatu kumpulan manusia itu dapat diseebut sebagai kelompok sosial, apabila memenuhi suatu persyaratan tertentu, antara lain:
  1. Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa ia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan.
  2. Ada hubungan timbal balik antar anggota yang satu dengan anggota yang lainnya dalam kelompok itu.
  3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok itu, sehingga hubungan antar mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib, kepentingan dan tujuan yang sama.
Dengan telah hadirnya suatu kriteria kelompok sosial tersebut di atas, maka kita bisa mempunyai keseragaman pandangan mengenai kelompok sosial itu sendiri sehingga kita bisa mengklasifikasikannya ke dalam beberapa golongan.
Ada berbagai macam cara untuk mengadakan penggolongan-penggolongan atau klasifikasi kelompok sosial. Akan tetapi kami hanya akan membahas klasifikasi kelompok sosial menurut dasar strukturalnya saja. Cooley, dalam Abu Ahmadi, mempergunakan dasar "we and the group" mengemukakan adanya jenis-jenis kelompok sosial, diantaranya:
  1. Kelompok primair, yaitu suatu kelompok yang mempunyai rasa ikatan yang terkuat dalam relasi intra grup. Di dalam kelompok primair itu, ada hubungan langsung antara individu-individu dalam kelompok dan intimitas kerjasama antara mereka. Di dalam kelompok ini, rasa ke kami-an atau we-feeling itu merupakan ekspresi yang fundamental dan natural. Contoh studi dalam kelompok primair ini ialah keluarga. Di dalam keluarga terdapat persatuan dan kesatuan di dalam totalitas relasi yang membentuk kesatuan dalam pikiran dan tindakan. Tiap-tiap kemauan menimbulkan rasa/responbilitas dari lain-lainnya, dan menjadi dasar kooperasi dalam melaksanakan segala tugas di dalam keluarga. Demikian juga di sekolah, terjadi pula adanya kelompok-kelompok primair ini, misalnya kelompok-kelompok olahraga, kesenian, belajar bersama dan sebagainya yang ada pada saat-sat tertentu harus dibimbing oleh para guru dan pembimbing supaya gejala persaingan yang tidak sehat dapat dicegah.
  2. Kelompok sekundair, pada kelompok sekundair terdapat hubungan-hubungan yang kausalitas, artinya ada sebab-sebab tertentu yang menyebabkan terbentuk oleh kelompok sekundair. Misalnya ada kelompok interest. Walaupun faktor hubungan face to face itu ada, tetapi tidak intim seperti pada kelompok primair karena jumlah kelompok sekundair lebih besar dari kelompok primair. Hubungan sosial pada kelompok sekundair ini biasanya mempunyai bentuk organisasi yang mempunyai peraturan-peraturan organisasi yang tegas, misalnya ada status organisasi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, tugas dan kewajiban serrta hak para anggota yang diatur oleh peraturan-peraturan dan mempunyai struktur kepemimpinan yang terorganisir. Contoh  kelompok sekundair ini ialah club-club sosial, lembaga agama, partai politik dan sebagainya.
  3. Kelompok tertier ini mempunyai sifat sementara atau insidental misalnya orang-orang yang bersama naik bis, nonton film, sepak bola dan sebagainya. Di dalam kelompok tertier ini tidak ada aturan-aturan yang mengatur hubungan sossial antara individu individunya.[8].

3. Hubungan Antar Manusia Dalam Sekolah (Analisis Struktur Sosial di Sekolah)
Berkaitan dengan hubungan antar manusia di dalam sekolah, yang dianalisis adalah struktur sosial di dalam sekolah. Pola kebudayaan di dalam sekolah menunjukkan perbedaan dengan apa yang terdapat di dalam masyarakat di luar sekolah. Menurut Nasution, dalam hal ini yang relevan untuk dianalisis adalah:
a. Hakikat kebudayaan sekolah sejauh ada perbedaannya dengan kebudayaan di luar sekolah.
Secara etimologis, kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”, yakni bentuk jamak dari “budhi” (akal). Jadi kebudayaan adalah segala hal yang berhubungan dengan akal. Kemudian secara terminologis, menurut E.B. Taylor, dalam Gunawan, kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum adat istiadat dan kecakapan-kecakapan serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang diperoleh/dihasilkan manusia sebagai anggota masyarakat.[9]
Di dalam kebudayaan mengandung standar normatif untuk perilaku. Secara khusus, kebudayaan dapat dipandang sebagai semua cara hidup (way of life) yang harus dipelajari dan diikuti oleh para warga masyarakat tertentu atau para anggota dari suatu kelompok tertentu. Kebudayaan pada dasarnya merupakan hasil dari budaya masyarakat, yaitu karsa, rasa dan cipta. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebutuhan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan dan hasilnya dapat diabdikan pada keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala nilai kemasyarakatan yang diperlukan untuk mengatur masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalam pengertian ini termasuk agama, ideologi kesenian dan semua unsur yang merupakan ekspresi dari jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang antara lain menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Hasil rasa dan cipta ini dinamakan pula kebudayaan rohaniah atau kebudayaan immateriil. Jadi jelaslah bahwa kebudayaan pada hakikatnya dan unsur rasa pada khususnya merupakan struktur yang normatif atau yang disebut oleh Ralp Linton, dalam Taneko, sebagai design for living. Artinya, kebudayaan merupakan suatu blue print of behavior yang memberikan pedoman-pedoman tentang apa yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Dengan demikian, maka kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan nilai-nilai.[10]
Sistem pendidikan mengembangkan pola tingkah laku tertentu yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari murid-murid. Kehidupan di sekolah serta norma-norma yang berlaku disitu dapat disebut dengan kebudayaan sekolah. Kebudayaan sekolah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat luas, namun mempunyai ciri-ciri sendiri yang khas. Timbulnya kebudayaan sekolah ini disebabkan berkumpulnya murid-murid dengan teman-temannya yang juga memisahkannya dengan orang-orang dewasa. Dalam situasi seperi ini, berkembanglah pola kelakuan yang khas bagi anak muda yang tampak dari pakaian, bahasa, kebiasaan kegiatan-kegiatan, dan sebagainya. Sebab lain timbulnya kebudayaan sekolah adalah tugas sekolah yang khas yakni mendidik anak dengan menyampaikan sejumlah pengetahuan, sikap, ketrampilan yang sesuai dengan kurikulum dengan metode dan tekhnik kontrol tertentu yang berlaku di sekolah itu.
b. Pola interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.
Masyarakat berfungsi sebagai penerus budaya dari generasi ke generasi selanjutnya secara dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan masyarakat, melalui pendidikan dan interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai sosialisasi, seperti bayi yang harus menyesuaikan diri pada saat-saat minum ASI, kemudian anak menyesuaikan diri dengan program-program belajar di sekolah, menyesuaikan diri dengan norma serta nilai-nilai dalam masyarakat.
Di sekolah anak berinteraksi dengan guru-guru (pengajar) beserta bahan-bahan pendidikan dan pengajaran, teman-teman, peserta didik lainnya, serta pegawai-pegawai tata usaha. Ia memperoleh pendidikan formal (terprogram dan terjabarkan dengan tetap) di sekolah berupa pembentukan nilai-nilai, pengetahuan, ketrampilan dan sikap terhadap bidang studi/mata pelajaran. Akibat bersosialisasi dengan pendidikan formal, terbentuklah kepribadiannya untuk tekun dan rajin belajar disertai keinginan untuk meraih cita-cita akademis yang setinggi-tingginya.[11]

4. Struktur Kelompok Dalam Sistem Pendidikan (sekolah)
Dalam struktur sosial terdapat sistem kedudukan dan peranan anggota-anggota kelompok yang kebanyakan bersifat hierarkis, yakni dari kedudukan yang tinggi yang memegang kekuasaan yang paling banyak sampai kedudukan yang paling rendah.
Sekolah, seperti sistem sosial lainnya dapat dipelajari berdasarkan kedudukan anggota dalam kelompok itu. Setiap orang yang menjadi anggota dari suatu kelompok mempunyai bayangan tentang kedudukan masing-masing anggota kelompok tersebut. Demikian pula di sekolah kita mempunyai bayangan tentang kedudukan kepala sekolah, guru-guru, staf administrasi, pesuruh dan murid-murid sendiri serta hubungan antara berbagai kedudukan itu.
Struktur itu memungkinkan sekolah menjalankan fungsinya sebagai lembaga edukatif dengan baik. Masing-masing mempunyai kedudukan tertentu dan menjalankan peranan seperti yang diharapkan menurut kedudukan itu. Dengan demikiam dapat dicegah sebagai konflik dan dapat dijamin kelancaran segala usaha pendidikan.
Menurut Nasution, pada umumnya dalam struktur sosial sekolah dapat dibedakan menjadi dua tingkat:[12]
a. Struktur sosial orang dewasa di sekolah
Kepala sekolah menduduki posisi yang paling tinggi di sekolah. Hal ini dikarenakan kedudukannya, tetapi juga sering karena pengalaman, masa kerja dan pendidikannya. Ialah yang paling berhak mengambil keputusan yang harus dipatuhi oleh seluruh sekolah. Di samping hak itu, ia juga memikul tanggung jawab penuh atas kelancaran pendidikan di sekolah.
Kedudukan guru lebih rendah daripada kepala sekolah dan karena itu ia harus menghormatinya dan bersedia untuk mematuhinya dalam hal-hal mengenai sekolah. Kedudukan guru juga tidak sama. Pada umumnya dianggap bahwa kedudukan guru SMP lebih tinggi daripada guru SD dan guru SMA lebih tinggi daripada guru SMP. Kedudukan guru juga turut ditentukan oleh lama masa kerja. Berkat usia dan pengalamannya mengajar, guru lama mengharapkan raasa hormat dari guru-guru baru atau yang lebih muda.
Orang dewasa yang tidak mengajar. Yang termasuk dalam golongan ini adalah pegawai administrasi dan pesuruh sekolah. Secara formal kedudukan mereka lebih rendah daripada kepala sekolah dan tenaga pengajar. Pesuruh dipandang lebih rendah kedudukannya daripada pegawai administrasi. Hierarki itu juga diterima oleh yang bersangkutan dan oleh masyarakat.
b) Struktur sosial murid-murid di sekolah
Sekolah bagi murid-murid dapat dipandang sebagai sistem persahabatan dan hubungan-hubungan sosial. Bedanya dengan orang dewasa ialah, bahwa struktur sosial ini lebih bersifat tak formal. Ada dua metode utama untuk mempelajari struktur informal pelajar.
Yang pertama dan yang paling banyak digunakan adalah tekhnik sosiometri. Dalam garis besarnya kepada murid ditanyakan siapakah diantara murid-murid, satu orang atau lebih yang paling disukainya sebagai teman belajar, bermain, pergi nonton, atau melakukan kegiatan lainnya, atau sebaliknya yang paling tidak disukainya, yang tidak dianggapnya sebagai teman. Dari hasil pertanyaan itu yang diajukan kepada setiap murid dalam kelas atau kelompok murid dapat disusun suatu diagram yang secara visual jelas menunjukkan kedudukan seseorang dalam hubungan sosial dengan murid-murid lain.
Metode kedua ialah metode partisipasi-observasi, yakni sambil turut berpartisipasi dalam kegiatan kelompok selama beberapa waktu mengadakan observasi tentang kelompok. Seorang pengamat yang turut serta dalam kegiatan murid akan dapat menemukan dan merumuskan berbagai hubungan yang terdapat diantara anggota-anggota kelompok itu.
Di suatu sekolah dapat kita temukan macam-macam kedudukan murid dan hubungan antar murid, antara lain:
ü  Hubungan dan kedudukan berdasarkan usia dan tingkat kelas
ü  Struktur sosial yang berhubungan dengan kurikulum
ü  Klik atau kelompok persahabatan di sekolah
ü  Kelompok elit
ü  Kelompok siswa yang mempunyai organisasi formal[13]

5. Klik atau Pengelompokan di Sekolah
Menurut Nasution, pengelompokan atau pembentukan klik mudah terjadi di sekolah. Suatu klik terbentuk bila dua orang atau lebih merasa mempunyai kecocokan dan keakraban dalam persahabatan antara satu dengan lainnya. Karena itu mereka banyak bermain bersama, sering bercakap-cakap, merencanakan dan melakukan kegiatan yang sama di dalam maupun di luar sekolah.[14]
Kenggotaan klik bersifat sukarela dan tak formal. Seorang diterima atau ditolak atas persetujuan bersama. Walaupun klik tidak mempunyai peraturan yang jelas, namun ada nilai-nilai yang dijadikan dasar untuk menerima anggota baru dan menindaknya bila ia tidak memenuhi syarat-syarat itu.
Di kalangan guru-guru sendiri sering terjadi pengelompokan atau klik yang bersifat informal. Ada kelompok yang bersifat sosial, misalnya berdasarkan jenis kelamin, misalnya guru-guru wanita mempunyai klik sendiri untuk tujuan-tujuan yang khas bagi wanita. Ada pula klik yang dibentuk berdasarkan kesamaan minat atau kegemaran seperti main kartu, olah raga, musik dan lain-lain. Kelompok lain dibentuk berdasarkan minat profesional untuk membicarakan masalah-masalah pendidikan. Kelompok profesional ini tidak dibatasi pada jenis kelamin tertentu. Anggota klik biasanya guru-guru dari tingkat sekolah yang sama, misalnya guru-guru SD, SMP atau SMA. Jarang seorang guru menerobos batas-batas sekolah itu dalam pembentukan klik informal.
Faktor-faktor yang menjadi sebab munculnya klik diantara para guru antara lain: kedudukan formal yang sama, misalnya guru-guru SD bidang studi yang diajarkannya. Selain itu juga ada faktor ekonomi, yakni lokasi atau tempat tinggal yang berdekatan.[15]
Menurut Nasution, hubungan dalam klik informal memegang peranan dalam pengambilan berbagai keputusan. Maka besar faedahnya apabila kepala sekolah mengetahui tentang adanya berbagai kelompok serta hubungan antar kelompok itu, pertentangan di antaranya. Pengetahuan itu dapat membantu kepala sekolah untuk menggerakkan seluruh staf guru untuk tujuan tertentu. Ia dapat bekerja dan mencapai tujuannya melalui kelompok informal ini. Guru-guru lebih mudah menerima sesuatu melalui guru-guru yang dipandang sebaga sahabatnya.[16]
Sedangkan bentuk klik yang mungkin timbul di kalangan murid-murid banyak aneka ragamnya, bergantung pada perbedaan murid yang terdapat di sekolah itu. Ada kemungkinan terbentuk kelompok berdasarkan kesukuan di kalangan murid-murid yang berasal dari suatu daerah tertentu, atau karena mereka merupakan minoritas.
Faktor yang paling penting dalam pembentukan klik adalah usia atau tingkat kelas. Selain itu klik biasanya beranggotakan murid dari jenis kelamin yang sama. Atau juga dikarenakan kesamaan minat atau kegemaran diantara murid, misalnya musik, olah raga, dan sebagainya.

C. Kesimpulan
1. Menurut Nasution, pada umumnya dalam struktur sosial sekolah dapat dibedakan menjadi dua tingkat: yaitu struktur sosial orang dewasa di sekolah, yang meliputi kepala sekolah, tenaga pengajar, pegawai/staf administrasi dan pesuruh; dan struktur sosial murid-murid di sekolah.
Di kalangan guru sering terjadi pengelompokan atau klik yang bersifat informal. Ada kelompok yang bersifat sosial, misalnya berdasarkan jenis kelamin, misalnya guru-guru wanita mempunyai klik sendiri untuk tujuan-tujuan yang khas bagi wanita. Kelompok lain dibentuk berdasarkan minat profesional untuk membicarakan masalah-masalah pendidikan. Kelompok profesional ini tidak dibatasi pada jenis kelamin tertentu. Anggota klik biasanya guru-guru dari tingkat sekolah yang sama, misalnya guru-guru SD, SMP atau SMA.
Sedangkan bentuk klik yang mungkin timbul di kalangan murid-murid banyak aneka ragamnya, bergantung pada perbedaan murid yang terdapat di sekolah itu. Ada kemungkinan terbentuk kelompok berdasarkan kesukuan di kalangan murid-murid yang berasal dari suatu daerah tertentu, atau karena mereka merupakan minoritas.
2. Dengan adanya klik dalam masyarakat sekolah, klik diantara guru misalnya, memegang peranan dalam pengambilan berbagai keputusan. Maka besar faedahnya apabila kepala sekolah mengetahui tentang adanya berbagai kelompok serta hubungan antar kelompok itu, pertentangan di antaranya. Pengetahuan itu dapat membantu kepala sekolah untuk menggerakkan seluruh staf guru untuk tujuan tertentu. Ia dapat bekerja dan mencapai tujuannya melalui kelompok informal in. guru-guru lebih mudah menerima sesuatu melalui guru-guru yang dipandang sebaga sahabatnya.
Struktur sosial dalam sekolah memungkinkan sekolah menjalankan fungsinya sebagai lembaga edukatif dengan baik. Masing-masing mempunyai kedudukan tertentu dan menjalankan peranan seperti yang diharapkan menurut kedudukan itu. Dengan demikian dapat dicegah sebagai konflik dan dapat dijamin kelancaran segala usaha pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004
Echols, John. M., Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1996
Gunawan, H. Ary, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000
Idris, Zahara, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Grasindo, 1992
Nasution, S., Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Buni Aksara, 1999
Partanto, A.Pius, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994
Sadli, Saparinah, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Manusia, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV Rajawali, 1982
Taneko, B. Soleman, Struktur dan Proses Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993




[1] Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Manusia, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 : 9.
[2] John. M. Echols, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1996: 119.
[3] Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994: 727.
[4] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004 : 77.
[5] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV Rajawali, 1982: 110
[6] Zahara Idris, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Grasindo, 1992: 1.
[7] Ibid. hal: 2.
[8]  Abu Ahmadi, Op.Cit., hal: 80-82
[9] Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000: 16.
[10] Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993: 61.
[11]Op. Cit., hal: 57.
[12] S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Buni Aksara, 1999: 76.
[13] Ibid. hal: 80-81.
[14] Ibid. hal: 84.
[15] Ibid. hal: 79-80.
[16] Ibid. hal: 80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar